SENIMAN NYENTRIK, WHY?
Jadi, kenapa mereka pada nyentrik?
Jangan dibalik begitu. Ini kan soal penghayatan. Soal gaya hidup. Kalau mereka yang kamu anggap nyentrik itu merasa pas dengan gaya dan penghayatannya, apa salahnya? Sekali lagi, ini hanya sekedar dari sudut mana kamu memandang, dari nilai mana kamu menangkap. Kan sama saja, misalnya saya beranggapan bahwa ABRI itu lebih nyentrik. Tiap hari pakai seragam itu-itu melulu. Tiap hari mengelap sabuk, menyemir sepatu, membersihkan bintang hingga mengkilat. Bagi saya justru yang begitu tidak wajar. Tapi mereka yang menjalani mempunyai penilaian sendiri. Ini pertanda disiplin. Dan disiplin dituntut tinggi dalam kemiliteran. Tak usah jauh-jauh. Kita pergi ke pasar di sebuah kampung. Lihat dan perhatikan Hansip dengan seragam coklat itu. Dengan segala tanda pengenal. Apakah itu tidak nyentrik dibanding ibu-ibu atau babu-babu atau pedagang sayur?
Ya, tapi Hansip kan diharuskan begitu.
Sama saja. Seniman yang kamu sebutkan tadi juga “diharuskan” begitu. Bedanya, yang mengharuskan adalah dirinya sendiri. Yang menuntut seperti itu adalah dirinya sendiri. Tuntutan tetap kreatif. Untuk menawarkan nilai-nilai yang lain. Mengajukan persoalan yang baru. Yang karena baru- meski harus dalam tanda petik- jadinya masih asing, masih dianggap aneh. Pelukis Rustamaji mungkin dianggap nyentrik dan aneh. Hidupnya sederhana, padahal lukisannya laku puluhan juta-satu lukisan saja. Tapi ia tak pernah mau menjual lukisannya kalau tidak mengadakan pameran. Dan pameran itu hanya dilakukan sepuluh tahun sekali! Orang yang berpikiran bisnis, tentu akan mengatakan itu aneh. Tapi Rustamaji sendiri tak merasa aneh. Wajar. Ia hanya merasa siap untuk pameran setiap sepuluh tahun. Sapardi Djoko Damono lain lagi. Ia biasa menyimpan dulu puisinya sekian tahun setelah diciptakan sebelum dipublikasikan. Ia perlu mengendapkan, menimbang-nimbang, apakah karya itu masih patut.
Ya, tapi dengan demikian bisa dianggap kurang waras kan?
Ya, karena ukuran mengenai waras berbeda. Jangan hiraukan itu.
Jangan dibalik begitu. Ini kan soal penghayatan. Soal gaya hidup. Kalau mereka yang kamu anggap nyentrik itu merasa pas dengan gaya dan penghayatannya, apa salahnya? Sekali lagi, ini hanya sekedar dari sudut mana kamu memandang, dari nilai mana kamu menangkap. Kan sama saja, misalnya saya beranggapan bahwa ABRI itu lebih nyentrik. Tiap hari pakai seragam itu-itu melulu. Tiap hari mengelap sabuk, menyemir sepatu, membersihkan bintang hingga mengkilat. Bagi saya justru yang begitu tidak wajar. Tapi mereka yang menjalani mempunyai penilaian sendiri. Ini pertanda disiplin. Dan disiplin dituntut tinggi dalam kemiliteran. Tak usah jauh-jauh. Kita pergi ke pasar di sebuah kampung. Lihat dan perhatikan Hansip dengan seragam coklat itu. Dengan segala tanda pengenal. Apakah itu tidak nyentrik dibanding ibu-ibu atau babu-babu atau pedagang sayur?
Ya, tapi Hansip kan diharuskan begitu.
Sama saja. Seniman yang kamu sebutkan tadi juga “diharuskan” begitu. Bedanya, yang mengharuskan adalah dirinya sendiri. Yang menuntut seperti itu adalah dirinya sendiri. Tuntutan tetap kreatif. Untuk menawarkan nilai-nilai yang lain. Mengajukan persoalan yang baru. Yang karena baru- meski harus dalam tanda petik- jadinya masih asing, masih dianggap aneh. Pelukis Rustamaji mungkin dianggap nyentrik dan aneh. Hidupnya sederhana, padahal lukisannya laku puluhan juta-satu lukisan saja. Tapi ia tak pernah mau menjual lukisannya kalau tidak mengadakan pameran. Dan pameran itu hanya dilakukan sepuluh tahun sekali! Orang yang berpikiran bisnis, tentu akan mengatakan itu aneh. Tapi Rustamaji sendiri tak merasa aneh. Wajar. Ia hanya merasa siap untuk pameran setiap sepuluh tahun. Sapardi Djoko Damono lain lagi. Ia biasa menyimpan dulu puisinya sekian tahun setelah diciptakan sebelum dipublikasikan. Ia perlu mengendapkan, menimbang-nimbang, apakah karya itu masih patut.
Ya, tapi dengan demikian bisa dianggap kurang waras kan?
Ya, karena ukuran mengenai waras berbeda. Jangan hiraukan itu.
Saya
ada contoh juga salah satu teman saya, yang juga seorang pekerja seni.
Seorang design cover buku pada sebuah perusahaan penerbitan. Kalau anda
sebelumnya pernah membaca tulisan saya yang berjudul “Anda Termasuk Tipe Pekerja Yang Mana?”
maka teman saya ini termasuk golongan pekerja pada tingkatan 2, pekerja
freelance. Orang Jakarta boleh berbangga bisa kerja dikantoran
mentereng di bilangan Thamrin, berdasi setiap hari, tapi tetap
terkungkung dengan ketidak bebasannya akibat adanya aturan pada
kantornya. Teman saya ini adalah salah satu pekerja Work at Home.
Pekerja paling bebas yang pernah saya kenal. Kerja bisa sambil pakai
sarung di rumah dengan minum kopi dan tak henti-hentinya mengisap rokok.
Hal yang sama tidak bisa anda lakukan kalau anda adalah tipe pekerja
kantoran, termasuk saya. Untungnya saya bukan perokok.
Teman saya
ini juga rada mirip dengan pelukis Rustamaji, nyentrik juga. Meski
sekarang ia tinggal di Jakarta yang tipikal orang-orangnya terkenal
apa-apa duit, karena iklimnya memang mengkondisikan orang jadi seperti
itu, ia tetap hidup dengan kesederhanaanya. Saya hafal betul kebiasaan
dia. Dia tiap hari online internet. Yahoo Mesengger bagi dia lebih mirip
seperi kantor virtualnya di dunia maya. Nah, kalau dalam sehari
statusnya di YM tidak online berarti dia lagi invisible karena
kebanjiran order dan diuber-uber Editor. Jangan ditanya berapa job order
setiap harinya. Dia sampai nolak-nolak kadang karena saking banyaknya.
Terakhir dia cerita ke saya ditawarin ikutan Production House (PH) film
untuk ngerjakan design grafisnya. Dia tolak, meskipun pada PH tersebut
menjanjikan rupiah yang lebih gede, dia tidak mau tergoda dan tetap
enjoy fokus di bidang pekerjaannya sekarang. Alasannya sederhana, dia
tidak ingin serakah jadi orang dan berusaha untuk tetap loyal pada
beberapa klien perusahaan pernerbitan yang sudah memberinya order selama
ini. Itulah orang seni. Hampir kebanyakan orang-orangnya punya
idealisme tinggi seperti itu, yang tetap tidak bisa dibeli pakai uang
manapun.
sumber: http://www.diptara.com/2009/10/kenapa-seniman-nyentrik.html
0 komentar: