MEREKA BERCERITA LEWAT LUKISAN
![]() |
Agus Siswanto (Agusis) bersama lukisan-lukisannya di rumahnya, Kamis (16/8/2012). Agusis termasuk pelukis Solo yang sangat rajin berpameran. (FOTO: Adib Muttaqin Asfar/JIBI/SOLOPOS) |
“Dulu banyak orang yang menganggap ini bukan gambar,” kata Agus
Siswanto atau Agusis, pelukis Solo yang dikenal dengan gaya naifismenya
itu. Maklum, lukisannya memang tidak melulu menampilkan keindahan yang
dicari sebagian orang.
Di rumahnya, Jl Nusa Indah IV, Madyotaman, Ketelan, Banjarsari,
berderet lukisan-lukisan yang telah dihasilkannya beberapa bulan
terakhir. Dari banyak lukisan kanvas tersebut, tidak ada satupun gambar
panorama atau potret manusia. Sekilas lukisannya mirip dengan gambar
buatan anak-anak, tapi ada cerita yang muncul susunan obyek-obyek itu.
Ada gambaran detil bagaimana perajin batik memoles kain polos jadi
batik, proses produksi di pabrik batik bahkan gambaran orang-orang yang
berbondong-bondong belajar batik.
“Naifisme itu memang seperti kekanak-kanakan, lugu, jujur, apa
adanya, enggak dipercantik. Biasanya memang menggunakan penyederhanaan
bentuk,” katanya saat ditemui di rumahnya, Kamis (16/8) lalu.
“Menggambarnya santai, kalau mletot dikit enggak ada beban karena mainnya di konsep.”
Aliran ini sebenarnya sudah populer di dunia, termasuk Indonesia
sejak era 1990-an lalu. Terinspirasi dari karya beberapa maestro pelukis
seperti Pablo Picasso dan Widayat sejak masih kuliah di ISI Solo,
Agusis memang mantap menekuni naifisme sebagai pilihannya dalam
berkarya. Menurutnya ini lebih menantang dari pada pembuatan lukisan
realis yang pernah dibuatnya saat masih SMA.
Tantangan tersebut adalah bagaimana memasukkan cerita atau narasi ke
dalam selembar kanvas. Di dalam setiap lukisan Agusis, pasti ada cerita
yang diusung karena itulah kekuatan utamanya. Sebelum melukis, Agusis
terlebih dulu harus menyiapkan konsepnya secara matang dan melalui
berbagai riset. “Inilah yang sulit. Apa yang tidak ada di dunia, kita
wujudkan.”
Contoh terbaru adalah saat membuat rangkaian lukisan bertema Batik Mendunia
yang kini sedang gencar dibuat dan dipromosikan di berbagai pameran.
Meskipun alirannya tetap naifisme, Agusis sama sekali tidak pernah
mengabaikan detil obyek yang dilukisnya. Bentuk wajah manusia memang
biasa saja, tapi lukisan kain batik, peralatan membatik sampai
lingkungan di sekitar pembatik terekam jelas secara detil. Untuk
mengungkap detil batik inilah Agusis melakukan beberapa riset.
Untuk melukis batik, Agusis mempelajari berbagai motif batik dari
berbagai daerah di Indonesia. Motif-motif itulah yang diadopsinya saat
menggambarkan ibu-ibu yang sedang membatik atau para kepala negara yang
pakai baju batik. Hasilnya, orang yang teliti bisa menemukan batik mana
yang ada dalam lukisan Agusis. “Bagi saya ini seperti paper atau tesis,
tapi dalam bentuk lukisan.”
Konsep
Konsep dan detil menjadi kekuatan utama beberapa pelukis dan
membuatnya beda dengan lukisan yang dijual di jalanan. Hal ini pula yang
dirasakan oleh Herri Soedjarwanto, pelukis Solo yang kini lebih dikenal
dengan karyanya yang realis. Ada banyak pelukis realis di Indonesia.
Yang berbeda, Herri selalu mengusung konsep dan detil di setiap
karyanya.
“Biasanya orang melukis manusia itu sangat detil, tapi pemandangan
malah tidak detil. Bagi saya lukisan landscape juga harus detil,”
katanya saat ditemui di rumahnya, Jl Anggur VII, Jajar, Solo, Jumat
(17/8) lalu.
Sebuah lukisan landscape yang baru saja selesai dibuat Herri di
rumahnya menunjukkan kekuatan itu. Sekilas lukisan itu seperti gambaran
keindahan panorama Bali biasa, dengan para wanita di tengah hamparan
sawah, Gunung Agung di seberang, sungai kecil dan dua perempuan sedang
di dapur mereka. Tapi sesungguhnya ada cerita yang terselip di dalamnya.
“Gunung Agung seperti kiblat bagi orang Bali, semua obyek ini berkiblat
ke sana. Ini ada orang-orang mengurus padi di sawah, kemudian ditumbuk
dan dimasak mereka sendiri. Ayam-ayam ini juga ikut memakannya.”
Lukisan itu memang gambaran tentang pedesaan Bali, tapi sesungguhnya
semua itu sudah tidak bisa lagi ditemui. Justru dengan lukisan itu,
Herri ingin membangkitkan memori orang akan suasana Bali di era 1960-an
yang kini hilang. Kesederhanaan dan keharmonisan Bali tempo dulu itu
kini banyak dicari orang. “Saya tantang para fotografer, coba temukan
pemandangan ini. Saya yakin tidak akan ketemu.”
Herri memang sudah terbiasa dengan konsep dan detil dalam
lukisan-lukisan realisnya. Hal ini sudah diakui berkali-kali oleh para
penikmat lukisannya, termasuk para petinggi pemerintahan semasa Orde
Baru. Ceritanya saat itu Dullah (yang dikenal sebagai maestro realisme)
hendak menggelar pameran di Jakarta. Karena Dullah hendak menampilkan
lukisan tentang Bung Karno, pemerintah tidak setuju kecuali ada lukisan
lain yang menggambarkan Pak Harto. “Pak Dullah pusing, akhirnya dia
minta seluruh muridnya mengajukan konsep tentang lukisan Pak Harto,
ternyata punya saya yang dipakai. Ini prestise buat saya.”
Konsep lukisan Pak Harto itu memang berbeda. Jika biasanya orang
lebih banyak menggambarkan tokoh dalam posisi yang sangat formal, maka
Herri menempatkan wajah Pak Harto dalam sebuah cerita. Dalam lukisan
Herri, Pak Harto digambarkan sedang bersama anak-anak buahnya
mempersiapkan Serangan Umum 1 Maret. Oleh Dullah, lukisan itulah yang
dikirim untuk dipamerkan di Jakarta. Pihak Istana Negara pun senang dan
lukisan itu menjadi satu-satunya lukisan yang mereka beli dalam pameran
tersebut.
sumber: http://www.solopos.com/2012/08/21/mereka-bercerita-lewat-lukisan-320879
0 komentar: