SENIMAN ISLAM DITENGAH MASYARAKAT MODERN (?)
Di
Indonesia seniman Muslim tidak mendapat kedudukan yang baik, serta dapat
perlindungan dari para ahli-ahli agama, banyak para seniman Muslim, karena
banyak rintangan serta banyaknya masalah yang harus dihadapi, bukan hanya
dihadapi oleh orang luar saja, tetapi juga para ulama memusuhinya, sedangkan
peranan seniman punya arti yang penting di kalangan masyarakat, punya arti yang
berguna di kalangan penggemarnya.[2]
Di
masa Bahrum Rangkuti diganyang segolongan umat Islam karena berani-beraninya
menyandiwara-radiokan Sinar Memancar dari Jabal An-Nur. Dari tahun ke tahun RRI
menyiarkan saduran dari The Christmas Carol karangan Charles Dickens. Satu tema
cerita Natal yang dialih-suasanakan kepada lingkungan Islam semalam sebelum lebaran.
Mengapa harus melalui cerita Natal untuk sampai kepada cerita Idul Fitri?
Demikian agaknya Rangkuti bertanya.
Asrul
Sani dan Usmar Ismail, tokoh-tokoh seniman Lesbuni beberapa tahun yang lalu
telah mencoba mengikut-sertakan film dan teater sebagai alat dakwah untuk
Islam.
Film
Sehelai Rambut Dibelah Tujuh ditonton oleh umat Islam dengan penuh minat dan
saya merasa gembira waktu melihat haji-haji berduyun-duyun masuk bioskop
menonton film. Masya Allah! Riwayat hidup pahlawan srikandi Cut Nya' Din
disendratarikan di Senayan dan para penonton umat Islam terpesona melihatnya.
Akan
tetapi usaha-usaha pengintegrasian seni modern ke dalam dakwah Islam ini sayang
sekali berhenti karena besarnya perlawanan dari dalam.
Apakah
imajinasi manusia seniman harus dikekang selama-lamanya, mengingat diri pada
kaidah-kaidah yang telah membeku, atau menyesuaikan diri dengan perkembangan
masyarakat yang dinamis, senantiasa berubah?
Jangankan
akan mempergunakan media seni modern, kemajuan yang sudah diperoleh pun hendak
dihentikan. Terbetik berita bahwa drama Diponegoro, Iblis, yang dipentaskan di
Jogja—dan sudah berpuluh kali sebelumnya dipentaskan—mendapat gangguan dari
orang yang tak menyenanginya, karena di dalamnya ditampilkan Nabi Ibrahim, Nabi
Ismail, dan Iblis.[3]
Kita
merasa bangga bahwa Dante Alighieri karena pengaruh cerita mi'raj Nabi Muhammad
menulis karyanya yang abadi Divina Comedia, tapi manakah seniman kita sendiri
yang membuat karya demikian tentang mi'raj Nabi Muhammad? Divina Comedia adalah
saduran bebas dari kisah mi'raj Nabi Muhammad melalui buku Ibnu 'Arabi yang berjudul
Al-Futuhat Al-Makkiyah yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan
tersebar luas di Eropa permulaan Renaissance.[4]
Kita
terlalu banyak puji diri dan angkat diri, tapi tanpa memperlihatkan bukti yang
nyata akan kelebihan kita di atas orang lain. Kita terlalu cepat marah apabila
ditunjuki orang kesalahan kita, sehingga lupa berintrospeksi dan kemudian
secara positif memperbaiki apa yang harus diperbaiki. Padahal dari musuh pun
kita banyak bisa belajar, barangkali justru dari ucapan dan perbuatan musuh
yang tanpa tedeng aling-aling.
Dari
sahabat kita justru mendengar yang baik-baik saja, elusan-elusan yang sekadar
basa-basi dan menyamankan hati, sehingga kita terlalu dan terlelap. Kita dengan
bangga bertahan dalam ketidaktahuan dan ketidakmampuan, kita bangga dalam tidak
berkarya dan dengan demikian terus ketinggalan oleh umat yang lain.
Tanpa
pengertian terhadap karya seni dari golongan agama, seniman dan karyanya akan
senantiasa terancam pengganyangan dari pihak yang tidak mengerti hakekat seni,
seniman akan senantiasa diganggu dengan demonstrasidemonstrasi, rapat-rapat
raksasa, sabotase-sabotase terhadap seniman dan hasil karyanya yang dianggap
bersalahan dengan kaidah-kaidah agama, orang akan menghancurkan lukisan-lukisan
dan patung-patung, orang akan membakar hasil-hasil karya sastra, orang akan
menyerbu gedung-gedung bioskop yang mempertunjukkan film-film yang tidak
disenangi, orang akan menggagalkan pertunjukan tarian dan sandiwara, orang akan
menggagalkan pertunjukan tarian dan sandiwara, orang akan mendatangi dan
mengancam stasiun-stasiun radio dan televisi. Dan semua itu karena tidak
mengerti hakekat karya seni.
Berapa
kali kita telah memprotes dan melarang pertunjukan film luar negeri karena
dianggap ceritanya tidak sesuai dengan cerita yang tersebut dalam Al Qur'an?
Apakah hak kita untuk melarangnya kalau itu memang sesuai dengan Bible? Atau
karena pertimbangan teknis memang sutradaranya telah mengadakan
perubahan-perubahan untuk mencapai efek estetis yang lebih besar?
Ketiadaan
pengertian hanya merugikan kita sendiri. Tertutup mata dan hati kita terhadap
masalah besar yang diungkapkan seniman dan terhadap kemajuan-kemajuan di bidang
perfilman.
Dengan
sikap yang tidak toleran begini apakah kita mengharapkan dapat menghapuskan apa
yang kita anggap kekeliruan itu dari seluruh muka bumi? Dapatkah kita memprotes
negaraJain yang membiarkan imajinasi senimannya yang memberikan gambaran
'keliru' itu dan bersedia berperang fisabilillah untuk itu?
Saya
kira dalam hal yang demikian sebaiknya seluruh umat dianjurkan untuk melihat
dan dalam pada itu dijelaskan bahwa gambaran itu adalah keliru atau tidak
sesuai dengan gambaran Kitab Suci Al-Qur'an. Jadi pengetahuan tentang
Al-Qur'anlah yang ditingkatkan dan jika bersalahan pula dengan kaidah,
pengetahuan tentang kaidahlah yang ditanamkan dengan intensif.
Tentu
saja orang bebas mengkritik berdasarkan pengetahuan kaidah agama dan di sinilah
tugas seorang kritikus seni yang merasa terpanggil untuk menegakkan agama
Allah. Dengan demikian masalahnya tetap diselesaikan dengan cara pengertian
seni dan bukan dengan cara non-budaya.
Kini
kita bicara tentang kritik seni, termasuk di dalamnya kritik sastra, kritik
seni lukis, dan seni pahat, kritik film dan sandiwara, kritik musik dan seni
tari. Tempatnya berpijak dan tanggapan dunialah yang menentukan corak pandangan
seorang kritikus seni. Dan karena kita negeri Pancasila yang demokratis, kritik
seni tidak hanya bertolak dari satu pola pemikiran saja.
Saya
mengharapkan emansipasi atau peningkatan pengertian dari pihak masyarakat, dan
sebaliknya saya pun mengharapkan peningkatan pengetahuan para seniman mengenai
kaidah-kaidah agama, sehingga mereka dengan kesadaran penuh dapat
mengungkapkannya sesuai dengan kaidah-kaidah tersebut, tanpa meniadakan
kemerdekaannya mencipta. Sebab alangkah membosankan cerita yang di dalamnya
tidak nampak pergolakan batin manusia-manusia yang hidup dengan nafsu-nafsunya
sebagai manusia.
Saya
pun menginginkan lahirnya kritikus-kritikus sastra Islam yang dengan
pengetahuan tentang agamanya dapat menilai karya-karya seniman Islam dari sudut
KeIslaman, tanpa menghadapkan paksaan kepada kebebasan mencipta pengarang.
Apabila
(sebagian) golongan Islam tidak merubah sikapnya terhadap seniman, maka saya
kuatir para seniman pada suatu ketika akan terjadi perpisahan antara seniman
dan masyarakat Islam, perpisahan yang mungkin meruncing menjadi permusuhan yang
tak ada gunanya malahan merugikan bagi kedua belah pihak
sumber: http://inspirasi.co/polemik_yang_melegenda/post/7/50/seniman_islam_di_tengah_masyarakat_modern1_-_hb_jassin
0 komentar: