Karya Seni atau Seniman: Mana yang penting?
"There really is no such thing as Art. There are only artists."
(Gombrich 1984: 4)
Keterangan gambar (dari kiri ke kanan): Portrait of the Artist as He Will (Not) Be1 (2011) dan Foto Evan Penny dan patung buatannya Old Self, Variation #12 (2010) © Evan Penny 2012
Sebagai insan yang kreatif, seniman berkreasi untuk menghasilkan karya
atau kegiatan yang bernilai untuk masyarakat. Seniman berperan untuk
menyediakan hal-hal di luar kelaziman yang mampu memperluas wawasan
apresiator.
Lantas apa yang bernilai dari aktivitas seorang seniman dalam
berkreasi? Apakah produk akhir yang dipamerkan kemudian yang bernilai,
ataukah barangkali gagasan dan pemikiran sang seniman yang
melatarbelakangi karya tersebut? Jauh-jauh hari, Ernst Gombrich pernah
menyatakan bahwa tidak ada yang namanya seni. Yang ada hanyalah para
seniman. Tanpa harus mengimani pernyataan sang pemikir seni tersebut,
kita bisa mempertimbangkan kembali pentingnya posisi seniman dalam
menentukan nilai seni rupa.
Persoalan nilai dalam seni rupa akan mengacu pada dua jenis nilai,
yaitu nilai yang kuantitatif dan yang kualitatif. Untuk membahas
apresiasi nilai yang bersifat kuantitatif ada sedikit kesimpangsiuran
yang disebabkan terbatasnya pembacaan yang mengarah pada hal ini (juga
terbatasnya pihak yang mau membaca). Terkait mekanisme pasar, ilmu
ekonomi lebih mampu menjabarkan fenomena ini daripada ilmu-ilmu seni
rupa sendiri yang cenderung enggan untuk menilai secara kuantitatif,
terlebih dengan nilai materi (uang). Hal ini dengan jelas terangkum pada
pernyataan Don Thompson, penulis buku The $12 Million Stuffed Shark.
"Money complicates everything in contemporary art, and affects every observer."
(Don Thompson)
Meski masih rancu untuk menetapkan nilai kuantitatif dari karya yang
dihasilkan seniman, kita tentu bisa menyepakati adanya sebuah nilai yang
kualitatif. Pertama-tama ada nilai yang diberikan untuk menghargai
hasil daya cipta seorang manusia. Kemudian diberikan pula nilai untuk
menghargai gagasan dan “cerita” di balik suatu karya. Tidaklah mudah
untuk menjabarkan sebuah nilai yang bersifat kualitatif, terlebih lagi
jika belum ada kesamaan persepsi mengenai sumber dan tolak ukur dari
nilai tersebut.
Apa yang diapresiasi dari sebuah karya seni? Apresiator boleh saja
menghargai keahlian maupun kesempurnaan bahan-bahan yang menyusun sebuah
karya, mengingat dalam seni rupa kontemporer ada yang menggunakan
permata dan logam mulia untuk membuat karya. Tapi apakah keahlian dan
permata yang membuat sebuah karya demikian dihargai? Keduanya tak jauh
berbeda dengan apa yang dimiliki para perancang dan pengrajin perhiasan.
Seorang seniman bisa dinilai dari unsur fisiknya (bahan dasar karya)
seperti halnya pengrajin ataupun unsur intelektualnya (gagasan di balik
karya) seperti halnya perancang.

Proses pembuatan suatu karya seni tidak mesti dilakukan oleh seorang
seniman secara langsung. Seniman bisa saja merancang sebuah karya tanpa
terlibat sama sekali dalam proses pembuatan karya tersebut. Seniman bisa
saja hanya “mengawasi” apa yang dibuat oleh para artisan yang
membantu mereka. Hal ini menjadikan karya seni sebagai karya
intelektual, bukan karya kerajinan atau keahlian yang lazim ditemui
dalam proses produksi seorang pengrajin. Sebagai pengagas karya, seniman
merupakan individu yang dihargai berdasarkan kemampuan intelektualnya
layaknya seorang ilmuwan. Kalau sekedar ingin terpukau oleh keindahan
dan keahlian pembuatan sebuah karya, apresiator cukup mengapresiasi
karya-karya kerajinan. Sebagai karya intelektual, karya seni tidak hanya
dihargai aspek fisiknya, tapi juga gagasannya.

Arus besar pemikiran postmodern telah mendemokrasikan gagasan pada
sebuah karya seni. Kini, suara seniman mengenai gagasannya tidak mesti
menjadi suara yang paling benar. Tidak jarang suara seniman “kalah nyaring”
dengan wacana dan teks kuratorial pengantar pameran. Untuk menyebut
sebuah karya seni diliputi gagasan intelektual, mungkin akan langsung
diikuti oleh pertanyaan; “Intelektual-nya siapa? Kurator? Penulis
seni?”Kini, untuk mengapresiasi gagasan intelektual yang meliputi suatu
karya, apresiator akan menemui persoalan yang sama saat mengapresiasi
bahan atau keahlian yang terlibat dalam pembuatan karya. Buatan siapa?
Gagasan siapa?
Seni rupa terus mengalami perubahan dari praktik yang sarat akan nilai
kebendaan menjadi sarat akan nilai intelektual, dan mungkin ke depannya
justru akan condong pada nilai identitas dan kepribadian seniman itu
sendiri. Tentunya identitas dan kepribadian di sini, berbeda dari apa
yang pernah marak disuarakan oleh seniman pada dekade 80-an. Tidak juga
seperti pencarian identitas nasional ala S. Sudjojono dan
seniman PERSAGI di era kemerdekaan. Di era global, yang memungkinkan
seorang seniman untuk mengikuti program residensi di luar negeri
(melampaui batasan ideologi dan budaya), seniman membawa diri mereka
masing-masing kepada kelompok yang lain. Sulit bagi seniman untuk
mengatasnamakan ideologi/golongan/kelompok budaya di era informasi yang
serba plural dan majemuk. Untuk mengatasnamakan Indonesia, misalnya,
seniman akan berhadapan dengan pertanyaan “Indonesia yang mana? Jawa?
Bali? Islam? Hindu?...(dan seterusnya, dan seterusnya)”
Sebuah karya seni rupa bisa saja mengandalkan keahlian para artisan,
para pengrajin yang ahli dalam mengolah material tertentu. Karya seni
rupa bisa juga mengedepankan wacana yang dikemukakan oleh para kurator,
estetikus, maupun sejarawan seni. Pada akhirnya tetap tidak bisa
dipungkiri, yang tidak tergantikan adalah identitas nama sang seniman
yang mendahului judul suatu karya. Apresiator bisa menggeser sudut
pandang yang sebelumnya terfokus pada obyek karya menjadi terfokus pada
subyek yang membuatnya.
Apakah sosok seniman bisa diposisikan layaknya sebuah brand?
Mungkin saja, mengingat pada karya-karya seniman besar ada nilai
identitas yang berhasil ditawarkan kepada publik. Apresiator seni yang
dengan mudahnya menanggapi sebuah karya sebagai “keaffandi-affandian”,” kemasriadi-masriadian”, atau bahkan “keGSRB-GSRBan”, membuktikan keberhasilan seniman tersebut untuk menawarkan (atau membayang-bayangi) publik akan identitas/brand mereka.
Daftar Karya:
1. Evan Penny, Portrait of the Artist as He Will (Not) Be, 2011, black and white photograph, 132 x 160 cm.
2. Evan Penny, Old Self, Variation #1, 2010, Silicone, pigment, hair, fabric, aluminum, 76 x 86 x 59 cm.
3. Damien Hirst, For the Love of God', 2007, Platinum, diamonds and human teeth, 171 x 127 x 191 mm | 6.8 x 5 x 7.5 in.
4. Agus Suwage, Luxury Crime, 2007-2009, Stainless Steel, gold-plated brass, and rice, 124 x 77 x 52 cm.
4. Agus Suwage, Luxury Crime, 2007-2009, Stainless Steel, gold-plated brass, and rice, 124 x 77 x 52 cm.
Sumber Gambar:
1 & 2. www.evanpenny.com.
3. Photographed by Prudence Cuming Associates © Damien Hirst and Science Ltd. All rights reserved, DACS 2012.
4. Dokumentasi art stage Singapore.
5. “Ai Weiwei: Sunflower seeds.” Tate. Tate, 13 oktober 2010. Web. diakses 16 Agustus 2013. (http://www.tate.org.uk/context-comment/video/ai-weiwei-sunflower-seeds).
0 komentar: