SALAH KAPRAH ISTILAH "SENIMAN"

Joseph Beuys keliru. Bagi saya, tidak semua orang adalah seniman. Ada hasil pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang biasa yang mungkin mampu mencapai ”kualitas-kualitas seni”. Akan tetapi, tidak berarti bahwa semua orang (otomatis adalah/bisa menjadi) seniman. Seperti halnya tidak semua orang adalah dokter atau tidak semua orang adalah kiai dan tidak semua orang adalah pemain sepak bola atau tidak semua orang adalah pengacara. Seniman adalah sebuah profesi yang memiliki jalur tersendiri untuk mencapai statusnya.
Sudah cukup lama kata ”seniman” dipakai di sembarang waktu, di sembarang tempat, dan di sembarang keprofesian. Seakan-akan seniman adalah kata generik—bersifat umum dan oleh karena itu boleh semena-mena dimanfaatkan oleh siapa saja. Padahal, ”seniman” adalah sebuah istilah ”spesifik” yang sangat terikat dengan ”ukuran-ukuran suatu konteks, norma, ruang dan waktu”.
Para pesohor kita di televisi (entah itu penyanyi, pemusik, bintang film/sinetron, pelawak, presenter) belakangan ini gampang berdalih bahwa profesi yang dia jalankan identik dengan ”kesenimanan” (maka kita terpaksa harus menilai hasil pekerjaan mereka sebagai ”seni/art”. Aduh, gejala-gejala ideosinkretik macam begini sudah sangat keterlaluan). Maka, sering kita mendengar di layar kaca mereka sembarangan mengoceh, ”Yahh, namanya juga seniman, saya harus bisa melakukan peran ini, peran itu…” Atau ”sebagai seniman, saya menjunjung kebebasan.” Kekacauan seperti ini sangat membingungkan khalayak.
”Seniman” sering dimanfaatkan untuk ”pembenaran diri” dan dijadikan celah untuk ”berkelit” dari masalah. Dengan mengaku diri sebagai ”seniman”, tak sedikit para selebriti itu ”menerima pemakluman” dari masyarakat. Spektrum penggunaan kata ”seniman” yang lebar sekaligus rancu di arena budaya populer kita dewasa ini akhirnya membuat makna spesifik istilah ini semakin tercerabut dari akar historiografinya.
Perlu dipahami perbedaan makna antara ’seniman’ dengan istilah lain yang dalam proses neologismenya diandaikan bermakna sama, misalnya: ’selebriti’, ’penyanyi-biduan’, ’pelawak’, ’aktris’, ’aktor’, ’musisi’, ’dramawan’, ’pelaku seni’, ’pekerja seni’, ’pelaku teater’, ’penyair’, ’sastrawan’, ’cerpenis’, ’novelis’, ’budayawan’ serta kata-kata bentukan keprofesian lain yang bersinggungan dengan urusan ’seni’ dan ’budaya’ yang kemudian disinonimkan dengan ’seniman’.
Pertanyaannya, apakah semua istilah itu sinonim dengan ’seniman’? Apakah ’seniman’ bisa menggantikan secara otomatis seluruh istilah keprofesian tersebut? Tentu tidak.
Kalau tidak, lalu apa dan siapakah ”seniman” itu? Apakah batas-batas yang bisa diberlakukan terhadapnya?
Dari S Sudjojono
Istilah ”seniman” tidak turun tiba-tiba dari langit. Orang yang pertama kali memopulerkan istilah ”seniman” adalah sang Bapak Seni Lukis Modern Indonesia: S Sudjojono (1913-1986). Istilah ini sudah mengemuka pada akhir 1930-an di dalam tulisan-tulisan S Sudjojono tentang seni lukis Indonesia. S Sudjojono mengakui bahwa istilah ”seniman” ini pertama kali diusulkan oleh Ki Mangun Sarkoro—mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1949-1950).
Dengan kata dasar ’seni’, maka ”seniman” adalah seseorang yang mengerjakan, menciptakan karya —yang hasilnya nanti disebut—seni. Definisi ini ternyata tidak cukup memadai.
Dalam bukunya Seni Loekis, Kesenian dan Seniman (1946), S Sudjojono menyarankan sejumlah ”syarat tambahan” agar seseorang pantas disebut ”seniman” atau ”tidak”. Antara lain ia mengatakan bahwa kerja seorang ”seniman” tidak semata-mata berurusan dengan soal ”kecakapan” dalam soal teknis saja (misalnya menggambar atau melukis). Lebih dari itu, untuk menjadi ”seniman yang baik dan benar”, kata S Sudjojono, seseorang itu harus memiliki watak dan jiwa yang besar (sebab seni adalah jiwa tampak, katanya).
Setuju atau tidak dengan ”syarat S Sudjojono” itu, sekurangnya kita bisa menilai bahwa itulah kali pertama anak bangsa ini mendefinisikan ”seniman”, diformulasikan lalu dipopulerkan. Sekalipun sudah cukup lama, dasar-dasar pengertian yang pernah dibangun oleh S Sudjojono ini kenyataannya masih relevan dengan situasi zaman kita sekarang. Dengan definisi itu, kita, misalnya, bisa menilai mana ”seni yang medioker” dan ”mana yang bukan”; mana yang pseudo art dan mana yang sungguhan.
Penting diketahui bahwa ”seniman” dimanfaatkan oleh S Sudjojono untuk menggantikan istilah ’artist’, ’kunstler’, ’kunstenaar. Pada akhir 1940-an, sang proklamator seni lukis Indonesia inilah yang kemudian menciptakan istilah ’pelukis’ sebagai pengganti kata ’schilder’. Ia juga orang yang berhasil menasionalkan istilah ’atelier’, ’workshop’ atau ’studio’ dengan kata ’sanggar’ yang masih kita gunakan sampai sekarang.
Masih terkait dengan diskusi ini, S Sudjojono sendiri mengklasifikasi perbedaan ’pelukis’ dengan ’seniman’ secara definitif. Menurut dia, seorang ’pelukis’ tidak bisa mematut diri sebagai ’seniman’. Dengan begitu, posisi ’seniman’ ditempatkan S Sudjojono lebih tinggi secara hierarki ketimbang ’pelukis’ (hierarki ini juga berlaku di Barat, yaitu batasan antara painter dengan artist). Seniman besar seperti Affandi bahkan selalu merendah: ”Saya ini hanya tukang gambar”. Seperti halnya S Sudjojono, Affandi juga memandang tinggi status seniman. Menjadi seniman adalah proses. Dan, peran publik tak kalah penting dalam proses tersebut.
Jangan mengaku ”seniman”
Menurut saya, andaikata Anda ternyata seorang ’penari’, lafalkan saja keprofesian ini dengan istilah ’penari’. Apabila Anda adalah seorang ’rockstar’, sebutkan saja diri Anda sesuai dengan kodrat
yang memang disediakan oleh ranah keprofesian tersebut. Andaikata Anda pemain sinetron atau film, biasakan saja secara konsisten menyebut diri sebagai: ’aktor’ atau ’aktris’ (bukan ’artis’ sebagaimana yang disalahkaprahi selama ini).
Nah, silakan melacak sendiri ”sejarah keprofesian” masing-masing di Tanah Air. Barangkali saja Anda berhasil menemukan istilah-istilah ’lokal’ yang ’khas’ dan ’pas’ yang sesuai dengan konteksnya. Pada zaman kolonial, saat itu pemuda seperti S Sudjojono, sudah memberi teladan yang baik.
Mari belajar menjunjung keprofesian.

sumber: http://hyphen.web.id/seniman-atau-seniman-11-september-2-oktober-2011/

0 komentar:

Copyright © 2013 WORLD OF ARTS NO LIMITS.