BATIK ITU INDONESIA, BEGITU KATANYA
Batik konon adalah mahakarya Indonesia
yang dianggap sebagai perlambang kain nasional. Selain representasi
Indonesia, kain hatik pun punya hari besar yang diperingati setiap
tanggal 2 Oktober, hari tersebut dianggap sebagai pengakuan dan
penghormatan untuk keberadaan batik di nusantara karena pada tanggal itu
lima tahun yang lalu Unesco mengangkat batik sebagai salah satu warisan
budaya dunia.
Dus, setiap tahun hari batik dirayakan,
mendadak instansi dan perusahaan memerintahkan pegawainya berbatik untuk
merayakan hari batik. Maka sejak lima tahun lalulah setiap tanggal 2
Oktober orang-orang memakai batik, di tempat kerja, di mana-mana, seolah
memakai batik adalah kebanggaan nasional.
Tapi sebenarnya apa sih yang diakui Unesco atas batik? Apa yang dianggap sebagai warisan budaya?
Banyak orang salah kaprah menganggap
kain batik-lah yang dianggap warisan budaya dunia, padahal tidak. Unesco
menggolongkan batik sebagai warisan budaya non benda, itu artinya
proses membatiknya yang digolongkan sebagai warisan budaya dunia, bukan
kainnya.
Proses membatik dengan malam cair dan
canthing, proses mengukir goresan pada kain itulah yang diakui Jadi
jangan bangga dulu merayakan hari batik, tapi batiknya batik printing. Itu sih bukan kain batik, tapi kain bercorak batik.
Batik dan Indonesia
Seberapa Indonesia-kah batik?
Dari beberapa literatur yang saya baca,
batik sendiri sedikit banyak dipengaruhi budaya dari luar, mayoritas
budaya Tiongkok daratan. Mengenai ini sudah banyak penelitian dan fakta
bahwa batik memang tidak 100 persen budaya nusantara, ada pengaruh dan
singgungan budaya luar nusantara pada selembar kain batik.
Seorang kolektor lukisan kuno di
Indonesia pernah menunjukkan kepada saya motif mega mendung yang khas
pada batik Cirebon sudah ada di lukisan kuno dari abad ke 14 yang
berasal dari dataran Tiongkok. Memang dari beberapa penelitian yang
dilakukan, Batik Cirebon awalnya memang diciptakan oleh
perantau-perantau dari tanah Tiongkok. Itulah mengapa warna khas batik
di Cirebon cenderung merah atau cerah, merah sendiri adalah warna khas
orang-orang keturunan Tiongkok.
Pengaruh berbagai bangsa inilah yang
membuat motif batik Indonesia menjadi begitu kaya. Kemudian dilanjutkan
dengan proses asimilasi dengan budaya dan lingkungan lokal yang membuat
corak batik ini kemudian menyatu dengan budaya lokal dan menjadi
identitas. Sebab itu tiap sentra batik pasti memiliki corak ragam khas
yang berbeda-beda.
Kelokalan batik inilah yang berbeda-beda
di tiap daerah, jadi walaupun batik adalah budaya dari luar tapi mampu
menyerap unsur-unsur lokal. Unsur-unsur lokal itulah yang lantas menjadi
sumber inspirasi motif-motif batik di tiap daerah. Katakanlah Mega
Mendung di Cirebon, Parang di Jogja atau Getih Ayam di Lasem.
Batik Kain Indonesia?
Tapi apakah semata hanya batik yang dianggap sebagai kain budaya nasional? Batik itu Indonesia?
Bisa jadi tidak karena sesungguhnya
ragam kain asli Indonesia itu tak semata hanya batik. Batik pada awalnya
hanya berkembang di wilayah sekitar Jawa dan beberapa daerah luar Jawa.
Daerah-daerah di luar Jawa lainnya tidak mengenal batik, budaya kain
yang tumbuh di daerah lain di nusantara bukan semata hanya batik.
Indonesia memiliki banyak ragam kain
tradisional lain, tenun ikat misalnya. Tenun ikat ini berkembang lebih
luas daripada batik di wilayah nusantara. Dari barat ke timur suku-suku
bangsa memiliki teknik tenun ikat dengan motif masing-masing, sesuai
ciri khas lokalnya. Dibanding dengan batik yang dulu hanya berkembang di
daerah Jawa, tenun ikat berkembang menyebar hampir di seluruh wilayah
nusantara.
Selain tenun ikat, dari ranah Sumatera
kita bisa menyebut Songket atau Ulos sebagai kain khas. Orang-orang
Melayu dan Minangkabau akan menyebut songket sebagai kain khas,
sementara orang-orang Batak menggunakan ulos sebagai kain kebesaran
mereka.
Orang-orang Papua pun tidak mengenakan
batik, mereka mengenakan rumbai-rumbai sebagai penutup tubuh, beberapa
mengembangkan kain ikat versi mereka yang berkembang sejak abad ke 17
seperti Suku Maybrat di Papua Barat yang mengembangkan kain ikat dengan
pengaruh dari motif Timor. Pengaruh ini katanya muncul dari para
orang-orang yang datang dari Pulau Timor.
Arsip sejarah berbicara, pada arsip foto
lama tidak akan tampak orang-orang Papua mengenakan batik, karena
memang batik bukanlah kain khas Papua, mereka akan berkoteka atau
mengenakan rok rumbai. Demikian halnya orang-orang dari Flores dan Timor
akan mengenakan kain ikat, atau orang-orang Minang dengan songket
mereka. Hanya orang-orang Jawa-lah yang mengenakan batik.
Era batik memang berkembang pesat
setelah kemerdekaan Indonesia dan kemudian semakin berkembang di era
Orde Baru, penggunannya kemudian menyebar dan meluas. Memang tak perlu
dipungkiri bahwa batiklah yang begitu kuat pengaruhnya sebagai kain yang
mencirikan Indonesia.
Di era 60-80-an banyak saudagar-saudagar
batik yang berjaya. Batik dibuat dalam skala besar, muncul
koperasi-koperasi batik dan sentra-sentra batik berkembang pesat. Sayang
tahun 90-an batik sedikit surup, pertama karena munculnya teknologi printing, yang
menghasilkan motif batik lebih murah dibandingkan batik tulis. Penyebab
kedua adalah mulai masuknya kain impor, kebanyakan dari Tiongkok yang
sedikit banyak menggerus posisi batik di pasaran.
Tapi apapun itu, batik sudah mendapat
tempat di masyarakat dan menjadi identitas bangsa, batik seolah sudah
mengakar dan mulai dikenal luas. Hal seperti inilah yang membuat batik
yang sesungguhnya mendapat banyak pengaruh budaya dari luar justru
menjadi representasi budaya Indonesia di mata dunia.
Membatikkan Indonesia
Pengakuan Unesco ini memang harus
diapresiasi, batik memang menjadi khas karena mungkin hanya di Indonesia
teknik melukis kain ini yang masih dilestarikan dan diproduksi massal.
Hal ini membuat rasa bangga terhadap batik, yang menurut saya malah
terkadang terasa berlebihan.
Pemerintah kemudian menjadikan batik
sebagai corong budaya Indonesia, Indonesia adalah batik dan batik adalah
Indonesia. Sehingga jika bicara kain Indonesia maka orang-orang harus
bicara batik, bukan kain-kain non batik.
Lantas karena demikian ada semacam latah
batik, hampir-hampir seluruh daerah di Indonesia mengembangkan batiknya
masing-masing. Bahkan daerah yang kulturnya pun tak pernah ada kultur
batik pun sampai bersusah payah mengembangkan, demi apa? Demi dianggap
Indonesia karena batik adalah kain khas Indonesia?
Dulu di akhir 1980-an ada batik Papua,
konon ini adalah bagian dari proyek dari UNDP. Didatangkanlah
pembatik-pembatik dari Yogyakarta ke Bumi Cenderawasih untuk mengajar
proses membatik bagi orang-orang Papua. Hasilnya sekarang Batik Papua
menjadi salah satu cendera mata populer dari Papua.
Pertanyaan saya adalah apakah batik
adalah budaya Papua? Dan kenapa pula harus mengada-adakan batik Papua?
Sementara itu bukan budaya asli Papua. Bukankah lebih baik
mengeksplorasi budaya Papua, alih-alih membuat sesuatu yang sebenarnya
asing bagi orang-orang Papua.
Demam batik seperti ini lantas menjalar,
daerah-daerah yang tidak memiliki budaya membatik latah membuat batik
versi mereka. Batik yang dilukis dengan motif kedaerahan, warna yang
melambangkan daerah dan lantas dianggap batik khas daerah tersebut.
Semua daerah membuat batik membuat esensi batik itu sendiri terkubur.
Tidak ada yang salah membuat sesuatu
yang baru, tapi alangkah baiknya daripada terburu-buru latah membuat
batik apa tidak lebih baik menggali terlebih dahulu adakah budaya kain
lokal. Jika ada maka seharusnya itu yang dimajukan, bukan lantas
mengadopsi batik dan kemudian menjadikan batik lah kain yang menjadi
representasi daerah tersebut.
Satu sisi membuat batik sebagai
identitas nasional mungkin tujuannya baik, seperti halnya jika seseorang
mengasosiakan kain sari dengan India, maka diharapkan jika bicara batik
maka akan diasosiasikan dengan Indonesia. Tapi saya memandang batik ini
overexpose, terlalu ditinggakan.
Bagaimana nasib kain-kain lokal lainnya?
Mereka juga hasil budaya Indonesia, kain-kain seperti tenun ikat,
songket, ulos, karawo juga bagian dari budaya Indonesia. Seharusnya
mereka juga bisa berkembang seperti halnya batik.
Sayang karena perhatian yang lebih
sedikit dibandingkan batik, banyak yang tidak tahu bahwa ada kain-kain
lokal lainnya yang indah, kain-kain lokal yang dibuat juga dengan
tangan. Mungkin karena kurangnya perhatian, sebagian dari kriya kain
lokal tersebut akan punah karena tangan-tangan terampil pembuatnya
menyusut satu demi satu.
Mungkin Indonesia ingin menunjukkan
identitas nasional, tapi ada yang terlupa bahwa Indonesia ini negara
yang kaya budaya. Seharusnya alih-alih menampilkan satu budaya,
Indonesia juga bisa menampilkan kekayaan budayanya.
Batik Itu Milik Siapa?
Bangga mengenakan batik? Apalagi batik
tulis yang mahalnya minta ampun. Tapi tahukah berapa penghasilan para
pembatik? Berapa persen dari ratusan ribu bahkan mungkin jutaan rupiah?
Ketika saya mengunjungi kampung batik dan bertanya pada seorang
pembatik, jawabannya sungguh mencengangkan, si pembatik hanya dibayar
puluhan ribu per hari.
Bayangkan dalam sebuah rasa bangga
karena sebuah batik, ada gemetar ibu-ibu pembatik yang dari pagi sampai
sore tak berhenti men-canthing. Jika dibilang mahakarya sehingga dihargai mahal, maka pernahkah melihat seorang pembatik yang kaya raya?
Pada garis paling ujung batik diisi para
pembatik yang untuk membatik dengan baik butuh proses belajar yang
begitu lama. Dibilang mahakarya lantas dihargai mahal tapi para
pembatiknya apa sudah mendapat upah yang layak? Padahal mereka yang
tekun menggurat garis demi garis, mengubah titik-titik menjadi gambar
dengan telaten. Tetap saja yang menjadi kaya-raya bukanlah para
pembatik, tangan-tangan sesungguhnya yang menjadikan sebuah batik tetap
saja berada di piramida paling bawah, menjadi tenaga yang paling diperas
tapi juga dibayar paling sedikit.
Itu tadi fakta dan baru satu masalah,
belum masalah lain lagi. Kurangnya generasi muda yang berminat pada
batik tulis, kebanyakan para pembatik adalah ibu-ibu setengah baya jika
tak mau dibilang tua. Jika ini tak diperhatikan baik-baik, maka akan ada
kondisi kritis untuk regenerasi pembatik. Permasalahannya kompleks,
salah satunya dari segi ekonomi memang menjadi pembatik memang tidak
menjanjikan secara ekonomi. Banyak dari pembatik tersebut terus membatik
karena itu satu-satunya pilihan mereka, satu-satunya yang mereka mampu
dan bisa lakukan.
Soal batik yang mendunia, siapa pemimpin
dunia yang konsisten mengenakan batik di forum dunia? Apa presiden
Indonesia melakukannya? Bukan, justru seorang Nelson Rolihlala Mandela
yang melakukannya. Madiba panggilan untuk Mandela, pertama kali
mendapatkan batik pada lawatannya ke Indonesia di tahun 1990.
Setelah itu di tiap kesempatan Mandela
tampil mengenakan batik, Mandela memang mencintai batik. Tampil di
forum-forum internasional, Mandela konsisten berbatik. Bagaimana dengan
pemimpin Indonesia? Mari kita lihat lagi, berapa kali ada pemimpin
Indonesia tampil di forum internasional dengan bangganya mengenakan
batik?
Jika katanya batik adalah representasi
Indonesia, kenapa pemimpin Indonesia justru lebih sering menggunakan
jas, justru seorang Afrika Selatan yang mengenakan batik dalam
forum-forum Internasional. Bagaimana tidak aneh jika sebuah kebanggaan
Indonesia malah ditampilkan oleh seseorang yang berkewarganegaraan
Afrika Selatan?
Batik hanyalah hype yang
menggandung sisi ironis. Batik ramai diperbincangkan dan menjadi tren
tapi di sisi lain ada sisi prihatin. Batik memang telah menjadi
representasi Indonesia tapi seharusnya kain-kain lokal lainnya juga bisa
menjadi representasi Indonesia. Jangan-jangan orang-orang menghidupkan
kembali batik hanya karena tren, bukan karena memahami dengan benar
filosofi batik itu sendiri.
Apa lantas jika ada yang mengenakan
batik di luar negeri maka ia bisa dibilang sebagai orang Indonesia
dengan nasionalisme yang menjulang. Tapi jika mengenakan tenun ikat
misalnya, ia tak bisa dibilang orang Indonesia gara-gara tidak berbatik?
Tidak kan?
sumber: http://efenerr.com/2014/10/04/batik-itu-indonesia-begitu-katanya/
0 komentar: