Mawar Terindah
Tepuk tangan begitu meriah yang diberikan untuk Rido. Aku memandanginya
dari bangku ku. Rido mempersembahkan sebuah lagu yang indah, yang
dibuatnya semalaman untukku. Pria itu mendekati tempatku duduk sambil
memberikan mawar putih untukku. Dia tersenyum manis padaku, aku pun juga
membalasnya dan menerima pemberiannya.
“Bagaimana?” Tanyanya. Aku membalasnya dengan senyuman, kemudian
tertawa. Rido menkerutkan alisnya. Dan itu adalah salah satu hal yang
aku sukai darinya.
Aku dan
Rido sudah menjalani hubungan selama dua tahun. Waktu yang lama,
bukan? Tentu. Menjalani hubungan yang pasti ada saja rintangan. Pada
pertengahan malam, Rido mengajakku jalan-jalan mengelilingi kota. Pasti
midnight seperti ini banyak event-event menarik yang tersedia di sudut
kota. Sebelumnya, Rido menjemputku, dan meminta ijin kepada orangtuaku
terlebih dahulu. Dia membawaku dengan motornya.
“Olive, aku pengen kenalin kamu sama seseorang.” Ujarnya, setelah
sebelumnya kami memarkirkan motor Rido.
“Siapa?” tanyaku, sambil terus melangkah. Dia hanya tersenyum, dan terus
menggenggam erat tanganku.
Di kerumunan, aku melihat ada seorang gadis yang sedang membawa tongkat
layaknya tuna netra. Dengan kebetulan, Rido menarik tanganku menuju ke
arah gadis itu.
“Aku mau kenalin dia sama kamu.” Kata Rido setelah kami sampai di
hadapan perempuan itu.
“Siapa dia?” tanyaku lagi.
“Dia Mawar.” Tuturnya sembari menarik tangan Mawar. Dan menyatukan
tangan kami berdua. “Mawar, ini Olive. Dia pacarku.”
“Pacar?” Tanya Mawar. Terdengar nada tak biasa, seperti kaget. Apa
sebelumnya Rido tak pernah menceritakan tentang aku kepadanya?
“Iya. Maaf sebelumnya aku tidak bercerita mengenai Olive ke kamu, atau
bahkan sebaliknya.”
Sejak malam itu, aku dan Mawar saling kenal. Aku juga baru tahu, bahwa
Rido dan Mawar sudah sebulan saling kenal. Semenjak Rido
memperkenalkanku dengan Mawar, Rido jadi sering bercerita tentang Mawar
kepadaku. Katanya, Mawar adalah sosok yang menginspirasinya. Ya, itu
sangat bagus. Tapi, entah mengapa aku sangat khawatir dengan hubungan
kami. Aku takut Rido menyimpan perasaan pada Mawar.
“Sayang, kamu kenapa diam?” Tanya Rido padaku.
“Nggak pa-pa.” Jawabku singkat. Seketika wajahku yang semula lesu,
kembali bersemangat. Dia memberiku sebuah bunga mawar untukku. Bunga
kesukaanku.
“Ini buat kamu.” Rido menyodorkan bunganya kepadaku. Aku masih menghirup
aroma mawar ini. Aroma yang masih sangat segar. Tapi, itu berubah. Raut
wajahku kembali ke ekspresi semula. Aku mulai tidak suka ketika dia
memberi pernyataan seperti itu.
“Itu dari Mawar. Bagus ya dia bisa milih bunga yang masih segar seperti
itu.”
“kok dia tahu kalo aku suka mawar?” Tanyaku dingin.
“Aku yang ngasih tau.” Entah kenapa aku tidak berselera untuk menghirup
aromanya. Aku terdiam cukup lama, yang membuat Rido mungkin
bertanya-tanya, kebingungan.
“Kamu suka sama Mawar?” tanyaku tiba-tiba. Matanya membulat.
“Kamu ngomong apa sih?”
“Setiap hari yang kamu omongin Mawar….
Mawar terus. Bahkan kamu yang
biasanya ketemu aku langsung nanyain kabarku, sekarang nggak pernah sama
sekali.”
“Kamu nggak suka?”
“Nggak!”
“Aku mau kita putus” ujarnya dengan sangat lembut. Pernyataan yang
membuat dadaku sesak. Ada angin apa yang membuat Rido seperti itu. Benar
dugaanku selama ini, dia benar-benar menyukai Mawar. Bahkan
mencintainya.
“Oke.” Tanpa berpikir panjang, aku menyutujui keputusannya. Air mataku
tiba-tiba menetes. Dan sekarang? Kita tidak ada hubungan lagi.
Sebulan sudah berlalu. Rasa sakit belum sepenuhnya menghilang dalam
hatiku. Setiap berpapasan dengannya di kampus, rasa sakit itu terus saja
muncul. Setiap berpapasan dengannya, kami hanya saling berdiam.
Alasannya tidak kuat untuk kami putus.
Kemarin, aku melihatnya di kantin. Wajahnya sangat pucat dan lesu. Aku
takut dia kenapa-kenapa semenjak kita putus. Ah, tapi itu kan
keinginannya.
Aku berniat untuk berjalan-jalan ke taman. Sekedar untuk menenangkan
diri. Tetapi, aku jadi teringat ketika pertama kali aku bertemu
dengannya disini. Ketika dia meminjam pensil kepadaku. Rido bukan pria
yang banyak berbasa-basi. Aku suka itu.
Aku menyapu pandanganku ke sekeliling taman ini. Tepatnya, aku menemui
sosok yang ku kenali. Dia sedang duduk di atas kursi panjang berwarna
putih. Dia tengah duduk sendirian. Pandangannya lurus ke depan. Aku
memberanikan diri untuk mendekatinya. Bahkan, aku harus berani meredam
emosiku.
“Hai.. Ini aku Olive.” sapaku terlebih dahulu.
“Hai.. Apa kabar?” Tanyanya.
“Baik. Kamu sendiri?”
“Baik.” Sebuah senyuman terlihat dari bibirnya.
“Kamu keliatan bahagia. Gimana dengan hubungan kalian?”
“kalian?” Alisnya mengkerut.
“Kamu dengan Rido.” Jelasku.
“Hubungan atara teman? Ya, tentu baik.” Ujarnya.
“hubungan kekasih.”
“Mana mungkin.. kita hanya teman.” Jelasnya. “Olive” panggilnya.
“Iya?”
“Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan tentang Rido.” Sepertinya serius.
Aku menatapnya dengan dalam. “Aku tau kalian sudah putus.” Lanjutnya.
Aku kira Rido tidak bercerita tentang hubungan kami yang sudah putus.
Setelah 10 menit Mawar bercerita. Pernyataan yang ia lontarkan cukup
membuat air mataku seketika menetes. Dadaku seperti dihantam ribuan
baja. Pernyataan yang tidak pernah terbayang dalam otakku. Aku terdiam
sangat lama. Mengingat kembali ucapan Mawar. “Rido terkena kanker
paru-paru. Itu adalah alasan yang membuat Rido tidak mempertahankan
kamu.” Aku baru tahu kalau Mawar adalah motivasi terbesarnya, dan aku
baru tahu kalo Rido benar-benar mencintaiku. Aku sesenggukkan. Apa yang
harus aku lakukan? Aku tidak ingin kehilangannya.
Sudah dua hari aku tidak melihat Rido. Apa yang terjadi dengannya. Aku
menghubunginya lewat ponsel, tidak ada jawaban. Sejam kemudian aku
mendapat kabar dari temannya. Rido sedang dirawat di rumah sakit. Dan
semenit kemudian, aku mendapat kabar dari
Mawar, kalo Rido sudah semakin
parah. Dengan cepat, aku mengunjunginya ke rumah sakit. Sialnya, ban
mobilku bocor. Akhirnya aku memilih untuk menggunakan ojek.
Tidak lama aku sampai di salah satu rumah sakit Jakarta. Aku mengingat
kembali nomor ruangan yang sudah diberi tahu Mawar. Aku mencari tak
begitu lama. Dapatlah kamar dengan nomor 021. Sekarang, aku siap bertemu
dengannya. Aku mulai membuka kenop pintu dan memasang wajah ceria.
Bingkisan buah-buahan dan bunga mawar juga sudah ku siapkan. Setelah
pintu terbuka, aku mendengar suara tangisan. Aku terdiam sejenak. Ini
bercanda bukan? Pasti Rido ingin membuat kejutan denganku. Aku meletakan
bunga mawar dan bingkisan itu di atas meja. Lalu mendekatinya. Suara
tangisam orang-orang di sekelilingnya semakin kuat ku dengar.
“Rido?” aku memastikan. Lagi-lagi air mataku keluar dengan sendirinya.
Aku menggenggam jemarinya. Sangat dingin. Aku mencium punggung
tangannya. Kenyamanan yang sudah lama tak kurasakan. Dia hanya membisu.
Tak merespon sama sekali. Sejak saat itu aku tahu dia sudah tidak ada.
Aku benci ini. Aku tidak bias menemaninya, di saat terakhirnya.
sumber: http://lulianggun.blogspot.com/
0 komentar: