IDE MANYAK MUNCUL DI WC, KENAPA?
Ide
atau gagasan bisa muncul dimana saja karena sesungguhnya pikiran memang
liar. Tetapi ada yang ‘tidak biasa’ atau menarik untuk diperbincangkan.
Setiap kali berada di kamar mandi, WC, kakus atau sejenisnya, selalu
saja ada ide aneh, unik, nakal, atau kreatif yang muncul. Sampai-sampai
seorang teman pernah bertanya mengapa mesti kamar mandi atau WC atau
kakus dan kerabatnya yang menjadi tempat terjaringnya ide. Saya sendiri
pun sempat bingung kenapa bisa begitu. Syukurlah, ini rupanya menjadi
bukti bahwa saya tidak sendirian dalam pertanyaan yang sama. Meskipun
kita semua tahu bahwa keliaran pikiranlah yang memungkinkan ide-ide tadi
muncul, saya mencoba untuk tidak sesederhana itu ketika mencoba
menjelaskannya. *Gaya betul!
Asumsi
pertama begini, semakin lama di kamar mandi, semakin banyak ide yang
muncul. Itulah kenapa sayang sebenarnya jika tidak segera dijala ide-ide
tadi, dan lantas merekamnya dalam media apapun, entah buku, telepon
genggam, laptop dll. Asumsi ini lantas menyulut ke pertanyaan
berikutnya, jika memang kamar mandi, kakus dan sejenisnya adalah wilayah
dimana banjir ide terjadi, jangan-jangan, beberapa kisah romansa-yang
bahkan begitu kita gandrungi dan sanggup menitikkan air mata haru,
membuat muka memerah sampai berkata ‘ciee’-itu bermula dari sini.
Dari
peristiwa-salah satunya, maaf, lepasnya pup dari sarangnya. Makin sulit
pup lepas, makin deras pula idenya. Cukup menggelikan, ya! *Maaf, agak
jorok.
Tetapi
oke, jika ditanyakan pertanyaan tadi-kenapa ide-ide selalu tumpah
disini, jawaban saya begini, karena kamar mandi-atau apapun kita
menyebutnya-adalah zona dimana kita ‘jauh’ dari sumber-sumber informasi
dan teknologi-yang memungkinkan kita untuk semakin meliarkan pikiran.
Kalau
kita perhatikan, kenapa kalimat-kalimat bijak yang sering kita kutip
muncul kebanyakan tidak pada zaman kita, tetapi muncul bahkan dari zaman
ribuan tahun lalu? Menurut saya mungkin ini karena tradisi kontemplasi
seperti lewat tapa atau meditasi sangat kental pada generasi mereka.
Mereka selalu memberikan waktu untuk menjelajahi diri mereka sendiri.
Artinya, diri sendiri adalah objek dari peristiwa kontemplasi atau
refleksi tadi Wilayah penjelajahan pikiran ini biasanya sepi dari
‘teknologi’. Sampai bahkan ada yang melakukan aktifitas ini di
tempat-tempat terpencil-yang jauh dari kehadiran orang lain, atau
setidaknya jauh dari suara-suara yang bisa menginterupsi pikiran-pikiran
mereka.
Dalam
aktifitas inilah biasanya segala sesuatu yang pernah mereka cerap atau
alami lewat segenap panca indera akan bertebaran dalam alam pikiran
mereka. Menyimak, memperhatikan, memilah-milah mana ampas dan intisari.
Selanjutnya, pikiran-pikiran tadi diabadikan lewat tulisan-tulisan yang
selalu hidup sepanjang masa. Nah, yang mau saya sorot disini adalah
wilayah kontemplasi atau meditasi mereka dan kata ‘jauh dari interupsi
suara’.
Nah,
pemutahkhiran dalam teknologi membawa kita pada akses informasi yang
bahkan lebih cepat dari kedipan mata. Karenanya, kita menjadi objek yang
dituntut untuk mengunyah banjir informasi dalam sepersekian detik.
Akibatnya, jauh dari jangkauan media yang mampu menghantarkan kita ke
sumber informasi, seperti telepon genggam, tablets, tv, atau apapun itu,
adalah hal yang mustahil saat ini. Kita dipaksa untuk terus mengunyah
informasi dari sana-sini dan menerimanya begitu saja. Kedekatan atau
kemesraan dengan piranti ini cenderung bekerja satu arah, dimana kita
adalah objeknya; objek informasi-yang kemudian melahirkan semacam
prinsip; harus selalu memperoleh informasi baru kapanpun dan dimanapun.
Karena
itu, kekariban dengan teknologi memampatkan kita untuk melakukan
semacam pengembaraan ide, tangkap ide, saring ide dalam pikiran. Kenapa?
Karena kita selalu disuapi informasi yang tumpah seperti banjir
bandang, sulit dikendalikan dan selalu datang tiap waktu. Apalagi ketika
slogan waktu adalah uang diamini. Satu detikpun begitu amat berharga
untuk selalu menyeruput informasi. Untuk selalu disuapi informasi. Untuk
selalu mengunyah, bahkan menelan paksa informasi karena terlalu banyak
yang disuapkan. Tidak ada satu wilayah pun disekitar kita yang tidak
terjamah teknologi-yang menjadi media penghantar ke sumber informasi.
Sekali lagi, karena slogan yang diamini tadi. Tak boleh ada waktu yang
tersita.
Disinilah
WC, kamar mandi, kakus atau apapun itu menjadi seksi untuk dibicarakan.
Karena kalau kita perhatikan, wilayah ini termasuk yang cukup sepi dari
piranti-piranti tadi, yakni ponsel, laptop, internet, tv dll.
Kesempatan untuk disuapi informasi nyaris hilang-meskipun memang ada
beberapa orang yang memasang piranti-piranti ini di kamar mandi mereka.
Tapi, fokusku adalah sepinya wilayah ini dari piranti tadi.
Nah,
ketika tak lagi diinterupsi oleh informasi, disinilah
informasi-informasi tadi mulai mengendap. Pikiran-pikiran kita mulai
mengembara. Mereka keluar dari bahtera seakan-akan ingin merayakan
kebebasan dari surutnya banjir bandang (informasi). Mereka seperti
merasa bebas. Itulah kenapa, tiba-tiba saja pengalaman-pengalaman masa
lalu muncul. Ide-ide juga muncul. Mereka berlarian dalam pikiran karena
bahagia tak lagi dihadang air bah. Itulah diawal tadi saya sebutkan
(asumsi saya) bahwa semakin berlama-lama di kamar mandi, semakin liar
juga pikiran atau ide yang terbang kesana-kemari.
Inilah
menurutku uraian untuk menjelaskan kenapa WC atau kamar mandi atau
apapun itu menjadi begitu ‘keramat’ dalam melahirkan ide-ide kreatif.
Kalimat
penutupku begini, semakin jauh kita dari kemesraan terhadap teknologi,
semakin mungkin bagi kita untuk melahirkan juga membebaskan ide-ide
tadi.
Terima kasih WC, kamar mandi, kakus dan kerabatnya.
0 komentar: