MEMBANTING PINTU PELUKIS DULLAH
Pelukis realis Indonesia Herri Soedjarwanto.
Dullah dikenal sebagai pelukis Istana Presiden RI pada masa Bung Karno. Dia mendirikan “Sanggar Pejeng”, yang menempati bangunan bekas Hotel Puri Pejeng yang sudah mati. Letaknya di dalam Puri Pejeng, bekas kerajaan tertua di Bali.
Banyak orang datang untuk belajar melukis disana. Di ujung tahun 1977,
Herri adalah murid Dullah yang termuda dan baru saja datang. Ini kisah
nyata ketika baru beberapa hari disana. (modus cerita: aku)
Suatu ketika,
tengah asyik melukis di kamar merangkap studioku, kudapati bensin
yang kupakai untuk mencuci kuas telah habis. Kebetulan stok bensin
teman-teman juga pada habis. Penjual bensin eceran jaraknya cukup
jauh. Kalau harus beli sekarang, jalan kaki, makan waktu lama, takut
kehilangan mood melukis yang sedang bagus. Jadi , minta saja ke studio
pak Dullah, pasti ada.
Terlihat dari luar pak Dullah sedang melukis ditemani Kok Poo, muridnya
yang paling tua (40 tahun). Kuketuk pintu, Pak Dullah menoleh,
berhenti melukis dan memandang kearahku dengan penuh selidik . Aku
merasa tak enak dipandangi seperti itu. Aku langsung membuka pintu,
tanganku masih memegang handel pintu, tapi belum sempat masuk, belum
sempat bicara apa-apa, tiba-tiba saja pak Dullah langsung menegur dengan
nada menuduh dan memarahi:
“ Lho, kamu ini…!? anak baru ... kok malah enak-enakan santai
disini.. harusnya kerja keras dong.. seperti teman-temanmu yang lain,
yang sudah senior!” Kalau dipikir sekarang sih, kata-kata itu wajar
saja. Tapi saat itu aku anak muda 18-19 tahun, yang punya harga diri
karena sudah ‘mandiri’ bahkan sejak umur 12 tahun.
Aku betul-betul kaget, tak ada angin tak ada hujan tahu-tahu kena
damprat seperti itu. Aku betul-betul tersinggung berat. Sejak klas 6 SD
aku sudah merantau jauh dari orang tua. Jadi tukang kebun , jadi tukang
plitur, penjaga pasar malam, kemudian umur 18 aku sudah bikin komik
dengan Kho Ping Hoo yang hasilnya untuk orang tua sekeluarga. Aku tahu
apa itu kerja keras dan tanggung jawab, jadi ketika ada yang menuduh aku
tak tahu kewajiban dan tanggung jawab aku benar-benar tersinggung dan
marah berat, sampai tak bisa berkata –kata. Mataku terasa gelap ,
badanku gemetar… dan tiba-tiba… gubraakk..!!... entah bagaimana, tiba-tiba saja pintu
itu sudah kubanting sekeras-kerasnya..! Sempat kulihat pak Dullah dan
Kok Poo sangat kaget sampai melongo, tak menyangka reaksiku akan
sebegitu keras dan frontal…. Kemudian, tanpa berkata sepatahpun aku
berbalik pergi.
Belum sampai masuk tempat tinggalku , KoK Poo mengejar di belakangku sambil berteriak:
“Mas Herri tunggu dulu… jangan gitu dong… sabaar…pak Dullah kan orang
tua,..seorang tokoh, punya nama besar lagi, jadi tak sepantasnya mas
Herri bersikap seperti itu.. anda harus minta maaf…”
“Koh KoK Poo kan tahu… saya bekerja paling keras disini, menggambar
siang malam, tak perlu diawasi, karena saya benar-benar senang dan
ingin segera bisa mengentaskan keluarga dan orang tua . Koh Kok Poo
kan juga tahu, teman-teman yang lain cuma santai-santai, dolan,
nongkrong di warung dan sebagainya , lantas mereka pura-pura terlihat
sibuk dan giat ketika pak Dullah datang memeriksa … Kok bisa-bisanya pak
Dullah mengatakan hal yang sebaliknya seperti itu…?” kutumpahkan segala
kekesalanku.
“Yaah.. saya tahu itu… karena setiap saat saya mampir kesini.. . Tapi
pak Dullah kan tidak?... jadi beliau benar-benar tak tahu.”
“ Lha kalau nggak tahu kenapa langsung mendamprat seperti itu?” protesku masih dengan rasa tak puas..
“ Beliau tahunya anak-anak lain tak terlihat, berarti sedang bekerja/
melukis. Sedang mas Herri terlihat berjalan tak membawa lukisan, ya
dikira sedang santai tak bekerja. Intinya : beliau tak tahu bahwa mas
Herri sudah bekerja keras. Jadii… pak Dullah harus dibuat menjadi tahu.
Tunjukkan pada pak Dullah dong..”
“Koh Kok Poo, saya kerja keras karena saya cinta dan ikhlas untuk cari
ilmu serta menolong orang tua dirumah. Saya tak perlu menunjukkannya
pada orang lain”
“Yaa.. saya paham prinsip itu… tapi untuk kasus ini justru sebaliknya.
Karena apa?.. Beliau tadi sangat kaget dan tersinggung, sebagai seorang
tokoh, baru kali ini ada anak muda yang berani marah dan membanting
pintunya... Selama ini yang berani marah langsung kan Cuma Bung Karno…
Jadi kesan pak Dullah tentang anda sekarang ini buruk sekali, anda
dinilai kurang ajar !”
“Benar juga ya… lantas bagaimana baiknya?” emosiku menurun, aku mulai berpikir jernih lagi…
“Mas Herri harus tunjukkan pada pak Dullah bahwa anda tak seperti yang beliau pikirkan.”
“Caranya gimana koh Kok Poo..? Apa saya harus bekerja tepat di sebelah
beliau , supaya kelihatan terus –terusan bekerja?... Begitu? Kan
berlebihan..” tanyaku berseloroh.
“Yaa… kalau perlu , memang harus begitu.!” Ternyata Kok Poo menanggapi serius.
“Lho… memangnya boleh menggambar di sebelah pak Dullah ? kok selama ini
tak ada teman-teman yang nggambar disitu selain koh Kok Poo?”
“Sebetulnya boleh saja… Cumaa, memang tak ada yang berani menggambar di
sebelahnya pak Dullah karena bermacam alasan. Kalau mas Herri pasti
berani… wong banting pintu aja berani kok ..he-he-he… Segera saja lho
ya, kalau ditunda lagi saya khawatir pak Dullah semakin sakit hati dan
mengusir anda.”
(*dialog aku (Herri ) dan Kok
Poo diatas tercetak sangat kuat dalam memori ku, serasa baru kemarin aku
bicara dengan Kok Poo... “ terimakasih koh Kok Poo, Salam hangat “…*)
Setelah Kok Poo kembali ke studio pak Dullah , tak lama kemudian aku
juga segera menemui pak Dullah yang masih melukis. Suasananya
benar-benar tidak enak. Aku datang tak digubris oleh pak Dullah.
Boro-boro diajak bicara, dilihat saja tidak. Betul-betul didiamkan,
dianggap tak ada , padahal berada dalam satu ruang , dan hanya berjarak
kurang dari 2 meter. Diterima tidak, diusir juga tidak..! Sungguh
suasana yang sangat kaku dan tidak enak banget bagiku. Rencana yang
kususun dengan Kok Poo agar pertama kali minta maaf atas kejadian
banting pintu tadi pun batal, karena lidahku jadi beku. Dalam suasana
tak menentu itu, otakku berhenti, tak bisa berpikir lagi. Dalam keadaan
kritis, pikiran dan perasaanku kukosongkan, kembali ke nol lagi, kembali ke niatan awal:
jauh-jauh aku ke Bali, dengan meninggalkan kontrak komik Kho Ping Hoo
yang cukup tinggi adalah menemui pak Dullah untuk belajar melukis… yaa melukis / menggambar, itu adalah fokusku..
Tanpa berkata apapun aku langsung duduk dilantai disebelah kursi yang diduduki pak Dullah untuk melukis. Aku hanya fokus ingin menggambar, itu saja.!
Aku siapkan pensil, kertas serta sebuah cermin ukuran 50x60cm, untuk
membuat gambar/ drawing wajah sendiri. Pak Dullah tampak tak peduli ,
aku dianggapnya tak ada. Aku pun sudah tak peduli pada apa pun di
sekitarku. Hanya ada satu fokus : nggambar.. nggambar.. nggambar ..itu
saja. Dan.. dimulailah suasana ganjil itu. Aku dan pak Dullah melukis
bersebelahan mepet (pak Dullah duduk di kursi aku di lantai) tapi saling
tak bicara.
Beberapa saat kemudian, sore sekitar jam 18.00 pak Dullah masuk kamar,
istirahat, tidur. Akupun berbaring tidur di lantai studio itu juga.
Lalu sekitar jam 20.00 pak Dullah bangun, ditandai dengan suara berisik
di kamar dan kamar mandi. Juga sesaat akan keluar dari kamar, terdengar
suara berisik kunci dan gerendel pintu dibuka. Suara-suara itu
membuatku terbangun dan segera bersiap, sehingga ketika pak Dullah ke
ruang studio, beliau melihat aku sedang menggambar.
Setelah makan malam , langsung mulai melukis lagi sampai subuh. (Sementara Kok Poo sekitar jam 9-10 malam sudah tidur).
Sekitar jam 4 subuh pak Dullah masuk kamar, istirahat, tidur. Begitu
beliau masuk kamar, aku juga segera berbaring tidur dilantai studio itu
juga. Dua jam kemudian sekitar jam 6 pagi beliau bangun. Aku bisa
mendengar suara berisiknya, dan cepat bangun juga. Dan ketika pak
Dullah ke studio, maka beliau melihat aku sedang menggambar.! Begitu terus setiap hari.
Pendek kata , pak Dullah tak pernah tahu kapan aku tidur, karena setiap
beliau berangkat tidur, aku masih menggambar. Ketika beliau bangun pun
dilihatnya aku masih menggambar di situ juga!... Hal seperti itu
berlangsung terus menerus sampai 2 minggu…dan “hebatnya” selama itu
beliau tak bicara satu patah katapun kepadaku..!!..padahal duduk
bersebelahan.
Setelah 2 minggu x 24 jam di dalam studio, aku telah membuat hampir
duaratus lembar sketsa, drawing dengan bermacam obyek seperti:
selfportrait, wajah pak Dullah, Kok Poo, alam benda, tangan, kaki dan
lain-lain. Malam itu sekitar jam 2 dini hari, ketika sedang asik
nggambar dari cermin , tiba-tiba dari atas kepalaku, pak Dullah
menjulurkan tangan mengambil gambar yang sedang kukerjakan.
“Lha.. iki apik Her ( lha.. ini bagus Her..)… Ini baru sket lukisan...
sedangkan yang kemarin-kemarin itu masih ilustrasi, belum lukisan.... “
Itu adalah kata-kata pertama yang diucapkan pak Dullah kepadaku sejak
kasus banting pintu dua minggu yang lalu. Kata-katanya terdengar lembut
di telingaku , layaknya seorang ayah kepada anaknya. Aku kaget,..
terharu dan juga lega sekali, segera kuraih tangan pak Dullah, kuciumi
sambil terbata-bata meminta maaf atas kesalahanku. Kulihat beliau juga
berkaca-kaca: “ Tak apa Her, pak Dullah juga minta maaf karena dulu tak
tahu. Tapi sekarang pak Dullah benar-benar tahu siapa Herri..”
Sejak saat itu hubungan kami menjadi sangat dan sangat dekat.. setiap malam aku menemani pak Dullah melukis berdua bersama sampai pagi..
Dan itu bukanlah hal sepele.. karena justru pak Dullah biasanya membeberkan ilmunya dan rahasia realisme pada saat-saat sunyi , tengah malam atau dini hari jam 2 jam 3 menjelang subuh, sesaat setelah berhenti melukis. Dimana saat itu biasanya hanya tinggal kami berdua, aku dan pak Dullah, empat mata saja... Itu salah satu sebab mengapa dalam setahun saja aku mengalami kemajuan sangat pesat layaknya orang belajar 5 tahun. ( selain tentu saja karena kerja keras dengan jam terbang lebih 16 jam sehari )
Kemudian secara resmi aku diangkat menjadi asisten Pak Dullah. Selain menjadi asistennya dalam urusan melukis, aku juga diberi tugas khusus : mewakili Pak Dullah dalam membimbing dan mengajar teknis melukis di studio (model) maupun di lapangan (landscape), untuk teman-teman pelukis sanggar Pejeng lainnya. Meskipun saat itu aku terhitung murid yang termuda, baik dari segi usia maupun masuknya dalam sanggar.
Selain tugas resmi itu, aku juga melakukan segala hal untuk pak Dullah, seperti : membuatkan teh, mengurus pigura dan kanvas, menjualkan lukisannya ke galeri, menagih uang , mengurus uang pak Dullah di Bank, mencari model, menjadi tempat curhat pak Dullah, teman jalan-jalan, mendampingi pak Dullah bertemu Gubernur, mewakili Pak Dullah dalam beberapa urusan,... bahkan sampai pasang badan menjadi kambing hitam saat ada masalah serius.. Singkat kata , buat saya pak Dullah adalah guru, ayah dan sahabat saya…
Sejak saat itu hubungan kami menjadi sangat dan sangat dekat.. setiap malam aku menemani pak Dullah melukis berdua bersama sampai pagi..
Dan itu bukanlah hal sepele.. karena justru pak Dullah biasanya membeberkan ilmunya dan rahasia realisme pada saat-saat sunyi , tengah malam atau dini hari jam 2 jam 3 menjelang subuh, sesaat setelah berhenti melukis. Dimana saat itu biasanya hanya tinggal kami berdua, aku dan pak Dullah, empat mata saja... Itu salah satu sebab mengapa dalam setahun saja aku mengalami kemajuan sangat pesat layaknya orang belajar 5 tahun. ( selain tentu saja karena kerja keras dengan jam terbang lebih 16 jam sehari )
Kemudian secara resmi aku diangkat menjadi asisten Pak Dullah. Selain menjadi asistennya dalam urusan melukis, aku juga diberi tugas khusus : mewakili Pak Dullah dalam membimbing dan mengajar teknis melukis di studio (model) maupun di lapangan (landscape), untuk teman-teman pelukis sanggar Pejeng lainnya. Meskipun saat itu aku terhitung murid yang termuda, baik dari segi usia maupun masuknya dalam sanggar.
Selain tugas resmi itu, aku juga melakukan segala hal untuk pak Dullah, seperti : membuatkan teh, mengurus pigura dan kanvas, menjualkan lukisannya ke galeri, menagih uang , mengurus uang pak Dullah di Bank, mencari model, menjadi tempat curhat pak Dullah, teman jalan-jalan, mendampingi pak Dullah bertemu Gubernur, mewakili Pak Dullah dalam beberapa urusan,... bahkan sampai pasang badan menjadi kambing hitam saat ada masalah serius.. Singkat kata , buat saya pak Dullah adalah guru, ayah dan sahabat saya…
0 komentar: